Oleh Suharyanto
(Tulisan ini merupakan respoin dari sebuah artikel pada http://www.sentralternak.com, 7 Oktober 2008, sebagai berikut:
Selamatkan Ternak Asli Indonesia
www.sentralternak.com, Artikel ini sengaja kami tulis dan kami  publish semestinya pada akhir bulan puasa sebagai perenungan buat kita  semua terutama yang akan pulang kampung alias mudik. Ketika kita pulang  nanti cobalah berfikir sejenak di tengah-tengah kegembiraan anda bisa  berkumpul dengan sanak saudara. Coba perhatikan sejenak ke sekeliling  atau kalau perlu menuju ke belakang rumah, masih adakah ternak yang kita  lihat sewaktu kecil dulu?. Masih adakah suara kokok sang jago yang  memecah kesunyian malam, atau bunyi anak ayam yang sedang mencari  induknya, atau suara sapi yang menggema karena lapar atau sesuatu hal?
Mungkin jawaban yang kita dapatkan adalah MASIH, tapi berapa persen  dari jumlah sebelumnya?. Ya, ternak asli kita sadar atau tidak sadar  terus berkurang jumlahnya dari tahun ke tahun. Tapi mengapa seolah-olah  kenyataan ini tidak kita sadari? Karena masing-masing kita tidak peduli  dengan sumber daya alam kita. Yang kita pikirkan hanyalah eksploitasi  semata tanpa memikirkan keseimbangan populasi.
Kebutuhan manusia akan protein hewani tidak bisa dipungkiri  peningkatannya dari tahun-ketahun. Gerakan sadar gizi dan yang lainnya  merebak di mana-mana. Sampai ada yang mencanangkan program back to  nature (kembali ke alam) yaitu dengan mengkonsumsi daging, telur, atau  sayuran hasil dari yang alami (non kimia) seperti ayam kampung, telur  ayam kampung asli, telur itik yang hanya di gembalakan, dan lain  sebagainya. Eksploitasi tidak dilarang tapi perlu upaya menyeimbangkan  dengan jumlah ternak yang ada.
Sangat miris hati kami mendengar salah seorang dosen atau ilmuwan  yang akan menangani project cloning banteng asli Indonesia. Coba kita  bayangkan plasma nutfah asli Indonesia akan dijual atau diberikan kepada  pihak asing sedang keuntungan dari project tersebut  masuk kantong  pribadi. Apakah tidak ada sisi negatif dari kegiatan pelaksanaan  tersebut? Apakah nasib kita puluhan tahun mendatang bahwa untuk melihat  banteng asli Indonesia harus pergi ke luar negeri? Apakah kita mau  mengulang peristiwa tanaman apel yang konon berasal dari Malang dan  tumbuh subur di sana sedangkan untuk mendatangkan bibitnya harus import?  Maukah terulang???
Berikut adalah usaha dan upaya untuk menyelamatkan ternak asli kita,  dan tidak menutup kemungkinan masih banyak cara lain yang belum kami  ketahui. Untuk itu kepada siapa saja yang mempunyai pikiran dan saran  untuk menyempurnakan apa yang sudah kami tulis untuk disebarluaskan atau  mengirimkannya kepada kami.
1. Menghindari pemotongan induk produktif baik itu unggas, kambing  dan domba (Kado), sapi, dan kerbau. Masalah ini pernah menjadi satu  judul skripsi yang kami ajukan untuk bahan skripsi dengan judul “Trend  Pemotongan Kambing PE Betina Produktif di salah satu RPH kota Malang”.  Tujuannya tak lain adalah untuk mengetahui trend populasi 5-10 tahun ke  depan. Sehingga kalau sudah ada gambaran jumlah populasi 5-10 tahun  kedepan, sudah ada langkah yang telah dipersiapkan untuk mengantisipasi  masalah tersebut. Sayang, kami terpaksa pindah judul skripsi karena  sesuatu hal.
2. Menjaga mutu genetik ternak asli Indonesia. Diperlukan daerah  breeding tertentu seperti pulau sapodi yang ada di madura sebagai  pelestari plasma nutfah sapi madura, daerah amuntai sebagai pelestari  itik alabio, mojosari, tegal, nunukan sebagai pelestari ayam nunukan.  Tidak mengawinkan ternak sembarangan juga merupakan salah satu usaha  untuk menjaga mutu genetik ternak.
3. Alternatif pemotongan ternak : ternak yang dipotong adalah ternak  yang benar-benar sudah afkir (baik afkir dari produksi, karena penyakit,  atau cacat), ternak yang produktifitasnya menurun, dan ternak hasil  import. Banyak kita jumpai pemotongan ternak yang dipaksakan seperti  menciptakan kondisi agar ternak bisa dipotong seperti ternak dipatahkan  kakinya, ternak dilukai, dan cara-cara lainnya. Jangan hanya memikirkan  keuntungan pribadi sedangkan kepentingan orang banyak diabaikan. Kami  pernah melihat dengan mata kepala kami bahwa di RPH besar (Sapi) dan RPH  kecil (kambing dan domba) masih melakukan pemotongan betina produktif.  Padahal betina tersebut sudah bunting bahkan ada yang sudah siap  beranak.
4. Upaya pengembangbiakan degan cepat seperti IB pada sapi, kambing,  domba, ayam, penetasan telur dengan mesin penetas pada unggas, dan lain  sebagainya. Banyak manfaat dari pelaksanaan kegiatan tersebut. Mungkin  pada kesempatan lain kami akan menulisnya sebagai makalah tersendiri.
5. Jangan menciptakan iklim yang akan mengundang tersebarnya  penyakit. Kurang memperhatikan sanitasi lingkungan, tidak memperhatikan  kesehatan ternak, makanannya, dan juga dari segi reproduksinya. Hal ini  akan berakibat pemusnahan massal kalau sampai terjadi mewabahnya  penyakit yang berbahaya. Dan tidak menutup kemungkinan penyebabnya  adalah kita sendiri. Sehingga yang rugi bukan diri sendiri tapi juga  orang lain akan ikut merasakannya.
6. Semua hal tersebut di atas tidak akan berjalan tanpa upaya dari  pemerintah khususnya dinas terkait untuk mensosialisasikan. Jadi  itung-itung bagi-bagi tugas pak, peternak yang menjalankan program dan  pemerintah sebagai pengontrolnya. Dan harapanya adalah terjalin hubungan  kerjasama yang saling menguntungkan.
Nah, sekarang pertanyaannya adalah sudahkan kita merasa memiliki  ternak asli Indonesia? Atau berapa persenkah usaha kita untuk ikut  menyelamatkan ternak asli Indonesia?  Harapan kami setelah membaca  artikel ini kita bisa merenungi masalah ini.  Kita semua akan sadar  ancaman musnahnya ternak asli kita beberapa tahun kedepan. Tidak ada  kebanggaan bagi kami kalau isi kebun binatang penuh dengan satwa manca  negara yang didatangkan ke Indonesia. Mana ternak asli kita???*(SPt)
Silahkan mengcopy isi artikel ini sebagian atau seluruhnya dengan  menyebutkan sumbernya : www.sentralternak.com. Saran dan kritik dapat di  alamatkan ke email : sentralternak@yahoo.com
Posted by: admin
Berikut ini adalah tanggapan, atau sebenarnya tepat dikatakan sebagai  tambahan infromasi perlunya menyelamatkan ternak lokal Indonesia.
Bagus sekali idenya untuk menyelamatkan ternak asli Indonesia. Saya sangat mendukung.
Fakta atau pengalaman yang saudara temui juga sering saya temui.  Dulu, ketika tahun 90-an, di sepanjang jalan-jalan lintas sumatera di  Bengkulu dan jalan-jalan utama sering dijumpai segerombolan ternak  kerbau melintas di jalanan, berkubang di rawa-rawa atau sungai-sungai  pinggir jalan. Belum lagi di desa-desa yang ada di bagian dalam provinsi  Bengkulu (dan Sumatera umumnya saya kira). Saya melihat dan berfikir,  itulah lumbung dan stok pangan hewani kita. Betapa senangnya jika di  sepanjang jalan bertebaran ratusan ternak kerbau ataupun sapi.
Sekarang, yang ada tinggal semak belukar atau lahan yang siap  dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, sekalipun lahan tersebut tidak  seharusnya untuk kebun kelapa sawit. Inilah salah satu yang menjadi  sebab mengapa ternak lokal seperti kerbau mulai punah. Anehnya, data  statistik menunjukkan populasi kerbau kita meningkat! Aneh bin ajaib.
Ada penyebab lain. Ketika euforia pemekaran wilayah sedang semarak,  banyak wilayah-wilayah yang memekarkan wilayahnya menjadi beberapa  daerah administrasi/ekonomi. Efeknya, tumbuhlah kota-kota baru,  umpamanya kota kabupaten, kecamatan dan lain-lain. Dengan tumbuhnya  kota-kota baru tersebut maka kemudian ada regulasi perlunya pembatasan  ternak yang berkeliaran di jalanan di “kota” baru tersebut karena  menganggu keindanhan calon kota (Di Bengkulu, ternak besar tidak  dikandangkan layaknya ternak-ternak di Jawa). Akhirnya, banyak ternak  yang harus dijual dan dipotong. Jakalau dulu ternak menjadi bagian dari  rumah tangga dan sistem sosial budaya, sekarang menjadi hama dan  pengganggu keindahan “kota”.
Anehnya, tidak ada solusi mantap untuk itu selain mengandangkan  ternak! Jika tidak, pemilik ternak akan didenda karena ternaknya  menganggu lingkungan (kenapa selama ini tidak menganggu lingkungan?).  Wal hasil, masyarakat pemilik ternak memilih “menjualnya” dan tidak lagi  berupaya memiliki lagi.
Itulah salah satu kenapa populasi ternak kita menurun.
Sepertinya perlu keberpihakan terhadap sistem sosial budaya yang di  dalamnya ada sistem kepemilikan dan pemeliharaan ternak. Tumbuhnya  kota-kota baru hendaknya diirngi dengan penyediaan area untuk  penggembalan kolektif. Sayangnya, area yang ada lebih baik diperuntukkan  bagi perkebunan kelapa sawit/karet. Inilah ketidakberpihakannya.
Apa yang anda sarankan perlu pemberdayaan dan penegakan seperangkat aturan. Bukan hanya himbauan.
Demikian.
 11:13:00 AM
11:13:00 AM
 Suharyanto
Suharyanto
 
 Posted in:
 Posted in:  
1 comments:
Pertamax... mas, mantep informasinya..... terima kasih mas....
Post a Comment