Oleh: Suharyanto 
Akhir-akhir  ini isu ketahanan pangan kembali menyeruak ketika Indonesia dilanda  bencana alam berkepanjangan sehingga meluluhlantakkan daerah-daerah  lumbung pangan seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gejolak kerawanan  pangan semakin mengemuka ketika harga kedelai melambung tinggi hingga  tak terjangkau oleh produsen tempe dan tahu serta kecap. Mengapa  produksi tempe dan tahu goyah? Karena bahan bakunya impor. Ini  menandakan bahwa kita masih rawan pangan.
Organisasi  pangan dunia (FAO) telah menjadikan ketahanan pangan sebagai prioritas  utama program pembangunan bangsa-bangsa di dunia. Hal ini semakin  diperkuat dengan adanya Milenium Development Goals (MDGs) yang  dicanangkan badan dunia PBB tahun 2000. Tujuan pertama dari MDGs adalah  pemberantasan kemiskinan dan kelaparan. Sudah jamak diketahui bahwa  kemiskinan dan kelaparan sangat terkait dengan ketahanan pangan.  Hubungan antara kemiskinan, kelaparan dan ketahanan pangan merupakan  suatu agenda yang tidak pernah berakhir (the unfinished agenda).
Secara definisi, ketahanan pangan merupakan terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup baik dari segi jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Untuk dapat mencapai ketahanan pangan tersebut diperlukan empat elemen yang mesti dipenuhi, yaitu a) tersedianya pangan yang sebagian besar merupakan produksi sendiri, b) stabilitas dan kontinuitas ketersediaan pangan, c) aksesibilitas dan keterjangkauan pangan secara memadai, dan d) kualitas konsumsi yang sehat dan aman.
Berbicara  tentang ketahanan pangan maka yang dimaksudkan adalah meliputi pangan  nabati dan pangan hewani. Pangan nabati masih saja berkutat pada  ketersediaan beras nasional yang beberapa waktu lalu memicu kontroversi  baik mengenai data maupun keputusan impor atau tidaknya beras. Sebagai  bahan pangan pokok tunggal, beras menjadi bukan saja komoditas pangan  tetapi menjadi komoditas politik juga. Oleh karenanya beberapa peneliti  serta pengamat menganjurkan perlunya diversifikasi pangan sumber  karbohidrat dan protein nabati. Selain itu, bencana alam banjir yang  melanda Jawa Tengah dan Jawa Timur telah menyebabkan porak porandanya  lumbung padi nasional sehingga menyebabkan kerawanan pangan.
Sementara  itu pada pangan hewani sedang digalakkan peningkatan produksi dan  konsumsi daging, telur dan susu yang kecenderungannya meningkat. Bahkan  Delgado (1999) memprediksi bahwa konsumsi pangan hewani sedang dan akan  terus meningkat pesat hingga tahun 2020 di negara sedang berkembang.  Sayangnya peningkatan ini belum diimbangi dengan peningkatan produksi  dalam negeri secara aman dalam istilah ketahanan pangan di atas. Hal ini  karena selama ini produk pangan hewani tidak didasari pada basis  industri hulu yang aman. Sebagaimana diketahui bahwa dalam industri  peternakan, pakan merupakan variabel terbesar yaitu 70% dari biaya  produksi. Sementara itu hingga saat ini bahan baku pakan ternak sebagian  besar masih impor sehingga mudah dipahami bila harga dan kontinuitas  produk sangat tergantung dengan impor. Beranjak dari hal inilah maka  ketahanan pakan menjadi sangat penting dikaji.
Krisis Baru: 3 F
Sebenarnya  ketahanan pakan urgen untuk segera diprogramkan mengingat bahan baku  pakan sebenarnya juga merupakan bahan pangan dan penggunaannya hingga  saat ini lebih banyak diarahkan sebagai bahan pangan. Kita ketahui bahwa  jagung, kedelai, tepung ikan merupakan bahan pangan (food) dan juga merupakan bahan baku pakan ternak (feed).  Oleh karena itu terjadi “perebutan” penggunaan produk pertanian  tersebut. Sementara itu produksi yang ada tidak mencukupi untuk memenuhi  kedua penggunaan tersebut.
Pentingnya  ketahanan pakan semakin menemukan momentumnya ketika saat ini tengah  terjadi krisis energi (bahan bakar) dunia. Cadangan energi tak  terbaharukan sudah semakin habis dan perlu pengganti energi yang  terbaharukan. Salah satu terobosan yang ditempuh adalah dengan  pemanfaatan sumber energi nabati (biofuel). Saat ini jagung dan  kedelai merupakan bahan baku etanol sebagai sumber energi terbaharukan.  Amerika merupakan salah satu negara yang tengah melakukan produksi  etanol dari jagung dan kedelai secara besar-besaran sebagai sumber bahan  bakar nabati. Menurut berbagai pemerhati, pemerintah Amerika Serikat  tengah menargetkan pemotongan penggunaan bensin sebesar 20% dalam 10  tahun dan gantinya adalah penggunaan etanol. Ini membutuhkan 300 juta  ton jagung. Eropa 200 juta ton, Cina 50 juta ton jagung dan Argentina  menargetkan 26% dari total produksi kedelainya untuk biofuel. 
Bergesernya  alokasi penggunaan bahan pangan/pakan tersebut menjadi bahan bakar  berdampak pada harga bahan baku pakan. Baru-baru ini malah terjadi  lonjakan harga kedelai yang sangat tinggi, yaitu dari Rp 3.000 menjadi  Rp8.000,-/kg sehingga pengusaha tahu dan tempe terancam gulung tikar.  Kenyataannya juga, harga jagung impor di atas Rp 2000,-/kg. Hal ini  terjadi karena jagung dan kedelai berasal dari impor yang mana di  pasaran dunia telah mengalami kenaikan. Dengan demikian maka jagung dan  kedelai selain diperebutkan sebagai bahan pangan (food), bahan pakan (feed) juga untuk bahan bakar (fuel).
Elemen Ketahanan Pakan
Dengan  mengadopsi definisi ketahanan pangan, maka ketahanan pakan juga  memiliki empat elemen sebagaimana pada ketahanan pangan, yaitu a)  tersedianya pakan hasil produksi sendiri, b) stabilitas dan kontinuitas  ketersediaan pakan, c) aksesibilitas dan keterjangkauan pakan yang  memadai, dan d) kualitas konsumsi yang sehat dan aman.
Dari  keempat elemen tersebut, elemen pertama dan kedua merupakan hal krusial  yang menentukan ketahanan pakan. Hingga saat ini, kebijakan pemerintah  dalam meningkatkan produksi dan konsumsi produk hewani lebih  dititikberatkan pada agribisnis on farm. Padahal dalam usaha on farm  ini, pakan menempati porsi terbesar dalam industri peternakan. Oleh  karenanya agribisnis hulu berupa pakan (bahan baku pakan) dan  obat-obatan memiliki peran vital bagi kelangsungan usaha on farm.
Untuk  memenuhi ketersediaan pakan (bahan baku pakan) maka impor merupakan  satu-satunya cara untuk memenuhi permintaan akan pakan. Lebih dari 75%  komponen bahan baku dan teknologi pakan mengandalkan dari impor. Menurut  data Deptan (http://www.deptan.go.id),  pada tahun 2005 periode Januari –Juli, Indonesia mengimpor jagung  sebanyak 179,6 juta ton dengan nilai 43,2 juta dolar AS, kedelai 3,2  miliar ton dengan nilai 879 juta dolar AS. Impor bahan pakan hewan juga  cukup besar, yaitu 526,5 juta ton dengan nilai 213 juta dolar AS. Dan  ini relatif meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2004 dengan periode  yang sama dimana impor kedelai dan bahan pakan hewan masing-masing  adalah sebesar 1,6 miliar ton dan 221,7 juta ton kecuali jagung yang  menurun dari 306 juta ton. Dengan demikian maka terlihat bahwa hingga  saat ini pakan ternak belum dikatakan aman karena ketersediaannya  sebagian besar dari impor.
Pada  elemen stabilitas dan kontinuitas ketersediaan pakan jelas  memperlihatkan ketersediaan pakan yang tidak stabil dan tidak kontinyu.  Ketidakstabilan ini karena sebagian besar bahan baku pakan bergantung  pada impor dan ini berarti tergantung dengan nilai tukar rupiah terhadap  dolar Amerika. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila harga pakan  juga tidak stabil.
Sumber Pakan Alternatif
Pencarian  sumber pakan alternatif bisa diarahkan pada dua hal, yaitu pemanfaatan  produk samping suatu hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan  lain-lainnya serta diarahkan pada pencarian sumber primer alternatif  yang tidak bersaing dengan penggunaan sebagai bahan pangan maupun bahan  bakar.
Indonesia  sebagai negara yang memiliki sumberdaya alam melimpah kiranya memiliki  banyak sumber pakan primer alternatif. Ini membutuhkan kemauan semua  pihak untuk melakukan eksplorasi dan penelitian pada sumber-sumber pakan  alternatif yang tidak kompetitif sebagai bahan pangan dan bahan bakar.  Berbagai penelitian tentang ini juga telah dilakukan, oleh karenanya  perlu segera dielaborasi dalam bentuk pemanfaatan dalam skala teknis  sehingga hasil penelitian bisa segera menjawab tantangan pentingnya  ketahanan pakan melalui pemanfaatan sumber pakan primer alternatif.
Pemanfaatan  hasil samping juga sangat banyak tersedia. Misalnya saja hasil samping  dari pengolahan minyak kelapa sawit, produk ikutan dari perkebunan  kelapa sawit, kelapa, jagung, kedelai, padi, industri etanol itu sendiri  dan lain sebagainya. Semua itu sangat memungkinkan dijadikan sumber  pakan. Bahkan sebagian diantaranya telah diteliti dan dimanfaatkan.  Hanya saja hasil penelitian yang terkait belum dielaborasikan pada skala  teknis. Sedangkan untuk hasil ikutan padi, kedelai dan sejenisnya masih  terkendala dalam kontinuitas bahan. Dengan demikian maka perlu juga  input teknologi untuk bisa lebih efisien dan efektif dalam pemanfaatan  bahan hasil samping.
Akhirnya,  ketahanan pakan merupakan prasyarakat untuk terwujudnya ketahanan  pangan hewani (peternakan). Ketahanan pangan hewani urgen untuk  diwujudkan mengingat konsumsi akan produk-produk pangan hewani  (peternakan) cenderung meningkat justru terjadi di negara-negara sedang  berkembang yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksinya.  Peningkatan performans produksi ini harus ditunjang dengan ketahanan  pakan karena pakan merupakan variabel utama dalam industri peternakan,  yaitu menempati 70% dari total biaya produksi.[]
(Penulis adalah Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Unib)
Dimuat pada Harian Rakyat Bengkulu, Selasa 26 Februari 2008
 10:50:00 AM
10:50:00 AM
 Suharyanto
Suharyanto
 
 Posted in:
 Posted in:  
0 comments:
Post a Comment