Saturday, February 26, 2011

Jalan Pintas Menuju Swasembada Daging

Oleh: Suharyanto

Disadari atau tidak, sub sektor peternakan memiliki peranan penting dalam kehidupan dan pembangunan sumberdaya manusia Indonesia. Peranan ini dapat dilihat dari fungsi produk peternakan sebagai penyedia protein hewani yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia. Oleh karenanya tidak mengherankan bila produk-produk peternakan disebut sebagai bahan ”pembangun” dalam kehidupan ini. Selain itu, secara hipotetis, peningkatan kesejahteraan masyarakat akan diikuti dengan peningkatan konsumsi produk-produk peternakan, yang dengan demikian maka turut menggerakan perekonomian pada sub sektor peternakan.
 
Namun demikian, kenyataannya menunjukkan bahwa konsumsi produk peternakan masyarakat Indonesia masih rendah. Padahal, menurut Husodo (2007) bahwa abad ini merupakan abad pertarungan talenta, yaitu abad yang penuh dengan persaingan dan pertarungan ketat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang membutuhkan talenta kuat. Untuk memenangkan pertarungan ini maka dibutuhkan manusia-manusia cerdas dan kuat. Hal ini bisa penuhi dengan konsumsi protein hewani yang memadai. Rata-rata konsumsi protein hewani baru 4,19 gram/kapita/hari. Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2006), rata-rata konsumsi pangan hewani daging, susu dan telur masyarakat Indonesia adalah 4,1; 1,8 dan 0,3 gram/kapita/hari. Angka konsumsi ini masih rendah bila dibandingkan dengan standar minimal konsumsi protein hewani yang ditetapkan oleh FAO, yaitu 6 gram/kapita/hari atau setara dengan konsumsi 10,3 kg daging/kapita/tahun, 6,5 gram telur/kapita/tahun dan 7,2 kg susu/kapita/tahun.

Beranjak dari fakta di atas maka pemerintah menetapkan program yang akan “mendongkrak” produksi dan konsumsi produk peternakan yang dalam hal ini daging (sapi). Program yang selanjutnya dikenal dengan program swasembada daging (sapi) merupakan program unggulan pemerintah sebagai tindak lanjut dari program Revitaslisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (2005) yang dicanangkan pada pertengahan 2005. Target waktu yang hendak dicapai adalah tahun 2010 Indonesia telah mencukupi kebutuhan akan daging sapi sendiri. Waktu yang tersisa 2 (dua) tahun ini tentu saja membutuhkan kerja ekstra keras untuk mencapainya. Mungkinkah?

Impor
Impor sapi dan daging merupakan salah satu jalan pintas (shortcut) yang harus ditempuh untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka pendek. Pada saat bersamaan harus juga dibangun pengembangan peternakan sapi secara masif dan terprogram.
 
Impor sapi bakalan sempat menurun drastis pada tahun 1997–2001. Hal ini menyebabkan pengurasan stok sapi lokal yang pada gilirannya menurunkan populasi sapi di Indonesia. Kemudian, impor kembali meningkat mengingat kebutuhan akan daging sapi meningkat pesat. Pada tahun 2002 saja, Indonesia telah mengimpor sapi bakalan sebanyak 429 ekor. Rata-rata per tahun Indonesia mengimpor 350-400 ribu ekor dari tahun 2002-sekarang. Ini masih belum ditambahkan dengan impor daging ilegal.
 
Fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa permintaan akan daging terus meningkat. Bahkan beberapa peneliti meramalkan bahwa di tahun 2020, permintaan akan daging meningkat hingga 3 (tiga) kali lipat. Bila hal ini tidak diantisipasi dengan baik maka ke depannya kita akan selalu tidak mampu menyediakan permintaan akan daging domestik. Beruntung pemerintah segera meluncurkan program swasembada daging 2010.

Sebagai salah satu jalan pintas, impor bisa digalakkan kembali guna mencukupi permintaan jangka pendek sembari mempersiapkan ketersediaan domestik siap dan aman hingga tahun 2010. Perlunya impor ini, Diwyanto (2006) mejelaskan bahwa bila impor jeroan dan sapi bakalan saat ini setara dengan 700 ribu ekor sapi lokal, maka untuk memenuhi kebutuhan domestik diperlukan sedikitnya tambahan 1,5 juta induk bunting dengan harapan akan menghasilkan pedet 1,45 juta ekor dan 700 ribu ekor di antaranya adalah pedet jantan yang akan menjadi bakalan. Lalu, dari manakah diperoleh 1,5 juta ekor induk bunting tersebut kalau tidak dari impor.

Melarang Pemotongan Betina Produktif
Pemotongan betina produktif merupakan salah satu faktor yang menyebabkan percepatan penurunan populasi sapi dalam negeri. Menekan pemotongan betina produktif harus dilakukan pengawasan dari berbagai lini, mulai dari jalur tataniaga sapi potong hingga di tempat-tempat pemotongan hewan. Salah satu kelemahan kita adalah bahwa pemotongan ternak tidak dilakukan di tempat pemotongan yang semestinya, misalnya di Rumah Potong Hewan (RPH). Pemotongan yang tidak dilakukan di RPH menyebabkan pengawasan relatif kurang intensif sehingga tidak ada jaminan bahwa ternak sapi yang dipotong bukan betina produktif.
 
Menekan pemotongan betina produktif tentu saja harus dikompensasi dengan impor bakalan atau daging untuk memenuhi permintaan daging sebagaimana diuraikan di atas. Dalam jangka pendek memang tidak bisa dihindari mengimpor daging. Dengan kata lain, pemotongan ternak sapi harus mengikuti prinsip dinamika populasi, yaitu mempertimbangkan keberlanjutan ketersediaan ternak sapi hingga populasi ternak tetap berada dalam posisi aman. Saat ini, pemotongan betina produktif mencapi 250 ribu ekor/tahun. Bila ini bisa dicegah maka akan terjadi penambahan populasi yang signifikan.
 
Perbaikan Performans Reproduksi
Menurut hasil sensus pertanian 2003, struktur populasi ternak sapi di Indonesia memperlihatkan bahwa jumlah ternak sapi betina dewasa diperkirakan 4,6 juta ekor dengan performans reproduktifnya yang masih rendah. Rata-rata umur beranak pertama sapi lokal kita adalah 4,5 tahun dan jarak antar kelahiran lebih dari 18 bulan. Kedua indikator performans reproduksi ini menunjukkan bahwa peningkatan populasi masih sangat sulit untuk bisa dicapai dengan cepat. Padahal bila dari betina produktif yang ada ini bisa ditingkatkan performansnya, yaitu umur beranak pertama menjadi 3,5 tahun dan jarak antar kelahiran bisa maksimal 18 bulan maka dalam seumur hidup sapi tersebut akan menghasilkan paling tidak 3 ekor.

Perbaikan performans ini harus dilakukan dengan perbaikan pakan (feeding), bibit (breeding) dan pemeliharaan (management). Untuk menunjang ini semua maka diperlukan penyediaan tenaga teknis dan ahli dalam bidang ternak sapi potong. Peran instansi dan lembaga pendidikan terkait sangat dibutuhkan. Dengan adanya perbaikan ketiga hal ini maka percepatan pertambahan populasi ternak melalui percepatan umur beranak pertama dan memperpendek jarak antar kelahiran akan terpenuhi secara signifikan. []

(Penulis adalah Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Unib) dimuat pada Harian Rakyat Bengkulu, Kamis 27 Desember 2007

0 comments:

Post a Comment

 
Use Mozilla Firefox for best Performance